Senin, 13 Juni 2011

Memahami Masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Perusahaan Bag-5

9. Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama

Pasal 104 UU No.13 Thn 2003 mengatakan:

1.Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh

2.Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 102, serikat pekerja/serikat buruh berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok

3.Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan

Ketentuan umum pada pasal 1 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.48/MEN/IV/2004 mengatakan:

1.Peraturan Perusahaan* adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan

2.Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak

Note:

UU No. 13 Thn 2003 pasal 1 ayat (6) mengatakan:

Perusahaan adalah:

a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum baik milik swasta maupun milik Negara yang mepekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain

Tata cara pembuatan Peraturan Perusahaan terdapat pada pasal 2 ; KEP.48/MEN/IV/2004 mengatakan:

1.Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib memuat Peraturan perusahaan

2.Isi dari peraturan perusahaan adalah syarat kerjayang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan dan rincian pelaksanaan ketentuan dalam perturan perundang-undangan

3.Dalam hal peraturan perusahaan akan mengatur kembali materi dari peraturan perundangan maka ketentuan dalam peraturan perusahaan tersebut harus lebih baik dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan

Pasal 3 pada keputusan menteri tersebut mengatakan:

1.Peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dibuat dan disusun oleh pengusaha dengan memperhatikan saran dan pertimbangan terhadap wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan

2.Wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat tidak memberikan saran dan pertimbangan terhadap peraturan perusahaan yang diajukan oleh pengusaha

3.Wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih oleh pekerja/buruh secara demokratis mewakili dari setiap unit kerja yang ada diperusahaan

Persyaratan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama terdapat pada pasal 12 KEP.48/MEN/IV/2004 mengatakan:

1.Perjanjian Kerja Besama dirundingkan oleh serikat/ekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha

2.Perundingan perjanjian kerja bersama harus dibatasi itikad naik dan kemauan bebas kedua belah pihak

3.Perundingan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) dilakukan secara musyawarah untuk mufakat

4.Lamanya perundingan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak dan dituangkan dalam tata tertib perundingan

@copyright

Sumber:

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan; Download>

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ; Download>

- Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP. 48/MEN/IV/2004 Tentang Tata Cara Pembuatan Dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan Dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama; Download>

- Sumber-sumber lain

Memahami Masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Perusahaan Bag-4

Besaran perkalian pesangon, tergantung alasan PHK-nya. Besaran pesangon dapat ditambah tapi tidak boleh dikurangi. Besaran kompensasi (Uang Pesangon/ Uang Pisah) tergantung alasan PHK Seperti terlihat pada tabulasi dibawah ini:

Note: PP = Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama

8.1 Contoh Perhitungan Uang Kompensasi (Karyawan di PHK oleh Perusahaan)

Contoh 1:

Badu seorang teknisi tinggal di Jakarta telah bekerja selama sepuluh tahun di PT Manahan Pagarubuh yang juga berdomisili di Jakarta, dengan upah Rp 3 juta per bulan. Ia kemudian di PHK oleh perusahaannya karena melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja.

Maka, Badu berhak atas kompensasi sebesar:

UP = Rp 3.000.000 x 1 x 9 = Rp. 27.000.000, {3 juta dikali 1 UP (karena melanggar Perjanjan kerja) dikalikan dengan 9 bulan upah}

UPMK = Rp 3.000.000 x 1 x 4= Rp.12.000.000,- (tiga juta kali 4 bulan upah, karena masa kerja 10 tahun

UPH = 15% x (27 juta + 12 juta) =Rp 5.850.000,- ( misalnya perhitungan UPH ini disebutkan cara menghitungnya dalam peraturan perusahaan/perjanjian kerja bersama)

Total Kompensasi = UP + UPMK + UPH

Total Kompensasi = Rp.27.000.000 + Rp.12.000.000 + Rp.5.850.000 = Rp. 44.850.000,-

8.2 Contoh Perhitungan Uang Kompensasi (Karyawan Meninggal Dunia)

Contoh 2:

Sesuai dengan UU No.13 Thn 2003 pasal 166 yang mengatakan bahwa: Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4).

Dengan demikian bila Badu sesuai pada contoh 1 diatas setelah 10 tahun bekerja tiba-tiba meninggal dunia maka besar kompensasi yang diperoleh adalah:

UP = (Rp 3.000.000 x 2 x 9) = Rp. 54.000.000,

UPMK = (Rp 3.000.000 x 1 x 4) = Rp.12.000.000,- (tiga juta kali 4 bulan upah, karena masa kerja 10 tahun)

UPH = 15% x (27 juta + 12 juta) = Rp 5.850.000,- Jumlah 27 juta didapat dari 1 x UP = ((Rp 3 juta x 1 x 9) = 27 juta)

Total Kompensasi = UP + UPMK + UPH

Total Kompensasi = Rp.54.000.000 + Rp.12.000.000 + Rp 5.850.000 = Rp. 71.850.000,-

8.3 Contoh Perhitungan kompensasi Uang Pisah (Karyawan Mengundurkan Diri)

Contoh 3:

Karyawan dengan jabatan Operator Mesin bernama Ahmad yang sudah bekerja selama 6 tahun 2 bulan mengundurkan diri dari PT.Manahan Pagarubuh. Pada saat pengunduran diri gaji Ahmad sebesar Rp. 1.200.000,-/bulan ditambah uang transport yang sifatnya tetap sebesar Rp.320.000/bulan. Selain itu ada uang makan sebesar Rp. 10.000/kehadiran.

Perhitungan Uang Pisah :

Uang Pisah = {(upah pokok + Tunjangan Tetap ) x besar uang pisah } + Penggantian Perumahan sebesar 15% uang pisah. Maka:

Uang Pisah = {(Rp.1.200.000 + Rp.320.000) x 3} x 115%; (Rp. 1.520.000 kali 3 bulan upah, karena masa kerja 6 tahun lebih dikali 115%)

Uang Pisah = (Rp.1.520.000 x 3 ) x 115%

Uang Pisah = Rp.4.560.000 x 115%

Total Uang Pisah yang diterima Ahmad = Rp.5.244.000

Uang makan tidak dihitung karena sifatnya tidak tetap kecuali ditetapkan dalam peraturan perusahaan sebagai komponen uang penggantian hak.

8.4 Contoh Perhitungan Uang kompensasi karena karyawan Pensiun

Pasal 167 ayat (5) UU No. 13 Thn 2003 mengatakan: (5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada progam pension maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4).

Dalam hal pensiun, UU No.13 Thn 2003 tidak mensyaratkan permasalahan jabatan terakhir. Semua level jabatan mendapat cara perhitungan uang kompensasi yang sama.

Untuk memberikan contoh perhitungan mari kita lihat dahulu contoh slip gaji karyawan yang bernama Teguh sebagai berikut:

Mari kita analisa dahulu slip gaji Teguh:

- Upah = GAJI KOTOR (1) = Rp. 5.000.000

- Gaji bersih (uang yang dibawa pulang) pada bulan Januari 2011 = (1) – (2) = Rp.4.614.286

- Potongan Jam kerja didapat dari: a. Gaji perhari =(Rp. 5000.000/30) = Rp.166.667,7/hari

(dianggap rata-rata 1 bulan = 30 hari dalam satu tahun)

b. Gaji per jam = (Rp. 166.667,7)/7 = Rp. 23.809,5/jam

(dianggap rata-rata 1 hari = 7 jam kerja dalam tiap bulan)

- Potongan jam kerja selama 1.5 jam = Rp.23.809,5 x 1.5 = Rp. 35.714

- Premi Jaminan Sosial Tenaga kerja (JAMSOSTEK) dibayar sendiri oleh karyawan dari gajnya setiap bulan = 2% x Rp. 5.000.000 = Rp.100.000

- Potongan lain-lain Rp. 250.000 karena membayar cicilan koperasi karyawan

Contoh 4a: Hitunglah besar uang kompensasi yang diterima teguh bila pada bulan Pebruari 2011 ia sudah pensiun (usia 55 tahun). Beliau mulai bekeja sejak Maret tahun 1999. Dengan demikian lamanya beliau bekerja = 2011 – 1999 = 11 tahun 11 bulan.

- Uang pesangon (UP) = (Rp 5.000.000 x 2 x 9) = Rp. 90.000.000, (masa kerja lebih 8 tahun pasal 156 ayat (2))

- Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) = (Rp 5.000.000 x 1 x 4) = Rp.20.000.000,- (lima juta kali 4 bulan upah, karena masa kerja kurang dari 12 tahun , pasal 156 ayat (3))

- Uang Penggantian Hak (UPH) = 15% x (45 juta + 20 juta) = Rp 9.750.000,- Jumlah 45 juta didapat dari 1 x UP = ((Rp 5 juta x 1 x 9) = 45 juta) . (Dalam contoh ini misalnya dalam PP/PKB besar UPH ditetapkan disebutkan seperti itu cara menghitungnya

Total Kompensasi = UP + UPMK + UPH

Total Kompensasi = Rp.90.000.000 + Rp.20.000.000 + Rp 9.750.000 = Rp. 119.750.000,-

Pasal 167 ayat (1) UU No.13 2003 mengatakan: (1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan pasal 156 ayat (3), tetapi berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4).

Pasal 167 ayat (2) UU No.13 2003 mengatakan: (2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ternyata lebih kecil daripada uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja kerja 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.

Contoh 4b (contoh yang sejalan dengan pasal 167 ayat (1):

Hitunglah besar uang kompensasi yang diterima Andorano yang memasuki usia pensiun pada bulan Pebruari 2011 ia sudah pensiun (usia 55 tahun). Beliau mulai bekeja sejak Maret tahun 1999. Pada waktu pensiun gaji pokok yang diperoleh sebesar Rp.4.500.000/bulan,- dan hanya mendapat tunjangan kesehatan sebesar Rp. 500.000/bulan. Disamping itu selama bekerja perusahaan mengikutkan beliau dalam program pensiun yang besarnya 1.000.000/bulan. Sisa cutinya pada saat itu adalah 15 hari. Beliau diterima bekerja di Jakarta untuk penempatan di kota medan dan pada waktu pensiun KTP nya sudah di medan.

- Uang Pesangon (UP) = (Rp 5.000.000 x 2 x 9) = Rp. 90.000.000, (masa kerja lebih 8 tahun pasal 156 ayat (2))

- Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) = (Rp 5.000.000 x 1 x 4) = Rp.20.000.000,- (lima juta kali 4 bulan upah, karena masa kerja kurang dari 12 tahun , pasal 156 ayat (3))

- Uang Penggantian Hak (UPH)

* Uang Cuti = (15/30) x Rp. 5.000.000 = Rp. 2.500.000,-

* Ongkos Pulang ke Jakarta = 0 (nol) rupiah karena beliau telah pindah ke Medan

* Penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan= 15% x (Rp. 45 Juta + Rp.20 Juta) = Rp. 9.750.000

Tutal uang penggantian Hak = Rp. 2.500.000 + Rp. 9.750.000 = Rp.12.250.000

Total Uang Kompensasi = Rp. 90.000.000 + Rp. 20.000.000 + Rp. 12.250.000 = Rp. 122.250.000

Sedangkan Uang yang telah dikeluarkan pengusaha pada program pensiun karyawan = Rp. 300.000 X 11 tahun 11 bulan = Rp.1.000.000/bulan x 143 bulan = Rp. 143.000.000

Karena uang jaminan pensiun lebih kecil dari perhitungan kompensasi uang pensiun ( Rp. 143.000.000 > Rp. 122.250.000) maka dengan demikian pekerja/buruh tersebut hanya memperoleh uang penggantian hak dari perusahaan yang besarnya = Rp.12.500.000,-. Dengan demikian uang akan diperoleh pekerja adalah Rp. 143.000.000 + Rp.12.500.000 = Rp. 155.500.000

Contoh 4c:

Hitunglah besar uang kompensasi yang diterima Andorano yang memasuki usia pensiun pada bulan Pebruari 2011 ia sudah pensiun (usia 55 tahun). Beliau mulai bekeja sejak Maret tahun 1999. Pada waktu pensiun gaji pokok yang diperoleh sebesar Rp.4.500.000/bulan,- dan hanya mendapat tunjangan kesehatan sebesar Rp. 500.000/bulan. Disamping itu selama bekerja perusahaan mengikutkan beliau dalam program pensiun yang besarnya 300.000/bulan. Sisa cutinya pada sat itu adalah 15 hari. Beliau diterima bekerja di Jakarta untuk penempatan di kota medan dan pada waktu pensiun KTPnya sudah di medan.

Pasal 167 ayat (3) UU No.13 Thn 2003 mengatakan: (3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.

Pasal 167 ayat (4) UU No.13 Thn 2003 mengatakan: (4) ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 167 ayat (6) UU No.13 Thn 2003 mengatakan: (6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Contoh 4d:

Hitunglah besar uang kompensasi yang diterima Andorano yang memasuki usia pensiun pada bulan Pebruari 2011 ia sudah pensiun (usia 55 tahun). Beliau mulai bekeja sejak Maret tahun 1999 untuk penempatan di kota Medan dari Jakarta . Pada waktu pensiun gaji pokok yang diperoleh sebesar Rp.4.500.000/bulan,- dan hanya mendapat tunjangan kesehatan sebesar Rp. 500.000/bulan. Disamping itu selama bekerja perusahaan mengikutkan beliau dalam program pensiun yang besarnya 300.000/bulan tetapi separuhnya dibayar oleh perusahaan (Rp. 150.000) sedangkan sisanya sebesar Rp. 150.000,- dibayar sendiri oleh Andorano yang dipotong dari gajinya/bulan. Sisa cuti yang belum diambil 24 hari.

- Uang Pesangon (UP) = (Rp 5.000.000 x 2 x 9) = Rp. 90.000.000, (masa kerja lebih 8 tahun pasal 156 ayat (2))

- Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) = (Rp 5.000.000 x 1 x 4) = Rp.20.000.000,- (lima juta kali 4 bulan upah, karena masa kerja kurang dari 12 tahun , pasal 156 ayat (3))

- Uang Penggantian Hak (UPH)

* Uang Cuti = (24/30) x Rp. 5.000.000 = Rp. 4.000.000,-

* Ongkos Pulang ke Jakarta = Rp. 500.000

* Penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan= 15% x (Rp. 45 Juta + Rp.20 Juta) = Rp. 9.750.000

Tutal uang penggantian Hak = Rp. 4.000.000 + Rp. 500.000 + Rp. 9.750.000 = Rp.14.250.000

Total Uang Kompensasi = Rp. 90.000.000 + Rp. 20.000.000 + Rp. 14.250.000 = Rp. 124.250.000

Sedangkan Uang yang telah dikeluarkan pengusaha pada program pensiun karyawan = Rp. 150.000 X 11 tahun 11 bulan = Rp.150.000/bulan x 143 bulan = Rp. 21.450.000

Karena uang jaminan pensiun lebih kecil dari perhitungan kompensasi uang pensiun ( Rp. 21.450.000 < Rp. 124.250.000) maka pengusaha harus membayar kekurangannya kepada Andorra sebesar = Rp.124.250.000 – Rp. 21.450.000 = Rp. 102.800.000,-. Total uang yang diperoleh pekerja = Rp.124.500.000

Lanjut ke Bag-5




Minggu, 12 Juni 2011

Memahami Masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Perusahaan Bag-3

7. Kompensasi PHK

Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar kompensasi yang terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu: uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH). UP, UPMK, dan UPH dihitung berdasarkan upah karyawan dan masa kerjanya.

Perhitungan uang pesangon (UP) yang terdapat pada UU No.13/ 2003 pasal 156 ayat (2) paling sedikit sebagai berikut :

Masa Kerja Uang Pesangon

masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 (satu) bulan upah;

masa kerja 1 - 2 tahun, 2 (dua) bulan upah*;

masa kerja 2 - 3 tahun, 3 (tiga) bulan upah;

masa kerja 3 - 4 tahun, 4 (empat) bulan upah;

masa kerja 4 - 5 tahun, 5 (lima) bulan upah;

masa kerja 5 - 6 tahun, 6 (enam) bulan upah;

masa kerja 6 - 7 tahun, 7 (tujuh) bulan upah.

masa kerja 7 – 8 tahun, 8 (delapan) bulan upah;

masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

*)Note:

UU No. 13 Thn 2003 Pasal 1 Ayat 30 : Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

UU No.13 Thn 2003 pasal 90 ayat (1) : pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 89

UU No.13 thn 2003 Pasal 89 ayat (1 dan (2)): (1)Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 88 ayat (3) huruf a terdiri atas : a. Upah minimum berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten/kota. B upah minimum berdasarkan sector pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota (2). Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.

UU No.13 thn 2003 pasal 91 ayat (1): Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

UU No.13 Pasal 88 : (1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh

(3). Kebijakan pengupahan yang melindingi pekerja/buruh sebagai mana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. upah minimum; b. Upah kerja lembur; c.upah tidak masuk kerja karena berhalangan; d. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar pekerjaan; e. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; f. Bentuk dan cara pembayaran upah; g. Denda dan potongan upah; h. Hah-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; i. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional; j. Upah untuk pembayaran pesangon; dan k. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan

UU No.13 Thn 2003 pasal 157 ayat (1): Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas: a. Upah pokok; b. Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.

Perhitungan uang penghargaan masa kerja (UPMK) pada UU No. 13/2003 pasal 156 ayat (3) paling sedikit ditetapkan sebagai berikut:

Masa Kerja UPMK

masa kerja 3 - 6 tahun 2 (dua) bulan upah;

masa kerja 6 - 9 tahun 3 (tiga) bulan upah;

masa kerja 9 - 12 tahun 4 (empat) bulan upah;

masa kerja 12 - 15 tahun 5 (lima) bulan upah;

masa kerja 15 - 18 tahun 6 (enam) bulan upah;

masa kerja 18 - 21 tahun 7 (tujuh) bulan upah;

masa kerja 21 - 24 tahun 8 (delapan) bulan upah;

masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah

Sedangkan Uang penggantian hak (UPH) pada UU No. 13/2003 pasal 156 ayat (4) yang seharusnya diterima meliputi :

a.cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

b.biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh* diterima bekerja;

c.penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;

d.hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

* )Note: UU No.13 Thn 2003 pasal 1 ayat (3) : Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain

Ada beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh perusahaan dalam menentukan UANG PISAH (karena karyawan mengundurjan diri):

1.Jika dalam perusahaan ada PKB ( Perjanjian Kerja Bersama ) antara perusahaan dengan Serikat Pekerja, maka besarnya uang pisah sesuai kesepakatan yang sudah dibuat. Biasanya lebih besar dari Undang-undang.

2. Adakalanya juga karyawan langsung bernegosiasi dengan perusahaan. Biasanya hasilnya juga akan lebih besar dari PKB ataupun Undang-undang.

3.Undang-Undang no 13 th 2003 pasal 162 dan pasal 156 ayat 4, merupakan besaran normatif yang harus diberikan oleh pengusaha kepada pekerja dan tidak boleh lebih rendah dari ini.

Tetapi terkadang perusahaan tidak mau membayarkan uang pisah sesuai point ketiga diatas dengan berdalih bahwa pasal 162 ayat 2 yang bunyinya: ”Bagi pekerja/buruh* yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat(4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama”.

*) Note: UU no.13 Thn 2003 pasal 162 ayat (1) & (3):

(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4)

(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat: a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; b. Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

Menurut mereka yang dimaksud dengan mewakili kepentingan pengusaha secara langsung adalah orang-orang yang memiliki jabatan tertentu dan memilki bawahan/anggota dalam kelompok kerjanya. Padahal dalam ketentuan pasal 1 UU No.13 tahun 2003 ayat (5) sudah ditegaskan bahwa:

(5) Pengusaha adalah:

a.orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri

b.orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c.orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Jadi jelaslah bahwa yang dimaksud dengan orang yang mewakili kepentingan pengusaha secara langsung adalah orang yang dalam aktifitasnya dalam perusahaan tersebut akan memberikan laporan kerja secara langsung kepada pihak pengusaha (pemilik modal). Jabatan ini biasanya dipegang orang yang setingkat dengan General Manager, Grup Director dll.

Kadang jumlah uang pisah yang ditetapkan pada peraturan perusahaan bagi karyawan yang mengundurkan diri juga tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 13 Thn 2003 pasal 156 ayat (3) padahal pada UU No. 13 Thn 2003 pasal 111 ayat (2) disebutkan bahwa: “(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Dan juga pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP/48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan Dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama disebutkan pada Pasal 2 ayat 3 bahwa: “3. Dalam hal peraturan perusahaan akan mengatur kembali materi dari peraturan perundangan maka ketentuan dalam peraturan perusahaan tersebut harus lebih baik dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan”.

Dalam menentukan uang pisah criteria yang dipakai biasanya berdasarkan masa kerja, untuk itu supaya tidak bertentangan dengan UU No. 13 Thn 2003 dan KEP/48/MEN/IV/2004 diatas tidak ada jalan lain untuk menentukan besarannya, kecuali minimal berdasarkan pasal 156 ayat (3)

Kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan pengusaha tidak mau membayarkan uang pisah bagi karyawan yang mengundurkan diri sesuai ketentuan undang-undang adalah:

1.Pengusaha sama sekali tidak tahu tentang ketentuan undang-undang yang berlaku

2.Pengusaha sengaja membiarkan persoalan uang pisah dipermasalahkan oleh karyawan yang mengundurkan diri dengan iktikad tidak baik sebagai berikut:

a.Kalau karyawan tersebut menuntut dan menang dipengadilan barulah dibayar sesuai ketentuan kalau tidak dituntut perusahaan akan untung.

b.Umumnya karyawan yang mengundurkan diri tidak punya waktu lagi untuk menuntut karena selain masih dalam tahap percobaan ditempat kerja yang baru (takut ketahuan menuntut dan reputasi menjadi jelek selama masa percobaan) maupun tidak ada uang dan waktu untuk membayar pengacara mengikuti sidang-sidang perkara. Ditambah lagi apabila uang yang akan dituntut kadang juga tidak seberapa jumlahnya. Kondisi inilah yang dimanfaatkan pengusaha untuk tidak membayar uang pisah sesuai ketentuan.

Untuk mencegah pengusaha melakukan tindakan melanggar undang-undang sedapat-dapatnya karyawan diperusahaan tersebut harus membentuk organisasi semacam ikatan kekeluargaan ataupun serikat pekerja. Tujuannya untuk menjembatani kepentingan karyawan dengan pengusaha sehingga tidak ada yang dirugikan.

Diatas tadi kita sudah membahas masalah PHK (mengundurkan diri) yang memenuhi kriteria UU No.13 Thn 2003 pasal 162 ayat (2). Ternyata didalam pasal 162 ayat (1) undang-undang ketenagakerjaan itu disebutkan bahwa: (1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4). Artinya komponen kompensasi yang dua lagi yaitu uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja tidak diperhitungkan bagi pekerja yang masuk dalam kriteria pasal 162 ayat(1) diatas. Siapakah pekerja yang memenuhi kriteria pasal 162 ayat (1) itu?. Kalau ditilik dari definisi pengusaha sesuai pasal 1 ayat (5) UU No.13 Thn 2005 tentulah orang-orang yang dimaksud dalam pasal 162 ayat (2) dan dicocokkan lagi dengan criteria yang diluar yang disebutkan pada pasal 162 ayat(2) adalah pekerja yang dalam aktifitasnya diperusahaan tersebut akan memberikan laporan kerja secara langsung kepada pengusaha (biasanya jabatan ini setara dengan General Manager). Jabatan ini biasanya dipegang oleh Manager atau sejenisnya. Jikalau struktur jabatan tidak jelas sehingga sulit untuk menentukannya , boleh dilihat dari skala golongan pekerja tersebut. Orang-orang yang memiliki skala golongan satu kelas dibawah pengusaha (biasanya jabatan dibawah GM) itulah orangnya.

Persoalannya, apakah pekerja dengan golongan yang setingkat tersebut tidak layak untuk mendapatkan uang pisah yang lebih dari hanya sekedar ketentuan pasal 156 ayat (4) ?. Padahal pekerja yang sekelas manager tentulah memiliki kontribusi yang berarti pada perusahaan apalagi sudah bekerja puluhan tahun yang karena satu dan lain hal harus mengundurkan diri. Disinilah pentingnya negosiasi dalam menentukan besaran uang pisah antara pekerja dengan pengusaha pada waktu membuat peraturan perusahaan ataupun perjanjian kerja bersama.

Cara yang bijaksana menentukan besaran uang pisah selain dari besaran uang penggantian hak adalah berdasarkan masa kerja. Boleh negosiasi berdasarkan masa kerja sesuai setengah dari nilai bulan pasal 154 ayat (3), atau berdasarkan cara yang lain, pokoknya sesuai kesepakatan antara pekerja dengan pengusahanya.

Lanjut ke Bag-4

Memahami Masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Perusahaan Bag-2

1. Pekerja Kontrak dan Pekerja Tetap

Pengaturan kompensasi PHK berbeda untuk pekerja kontrak (terikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu-PKWT) dan pekerja tetap (terikat Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu-PKWTT). Dalam hal kontrak, pihak yang memutuskan kontrak diperintahkan membayar sisa nilai kontrak tersebut. Sedangkan bagi pekerja tetap, diatur soal wajib tidaknya pengusaha memberi kompensasi atas PHK tersebut.

Dalam PHK terhadap pekerja tetap, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima pekerja. Perlu dicatat, kewajiban ini hanya berlaku bagi pengusaha yang melakukan PHK terhadap pekerja untuk waktu tidak tertentu. Pekerja dengan kontrak mungkin menerima pesangon bila diatur dalam perjanjiannya.

2. Alasan/sebab PHK

Terdapat bermacam-macam alasan PHK, dari mulai pekerja mengundurkan diri, tidak lulus masa percobaan hingga perusahaan pailit. Sebab yang lain adalah karena:

- Selesainya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

- Pekerja melakukan kesalahan berat

- Pekerja melanggar perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perusahaan

- Pekerja mengajukan PHK karena pelanggaran pengusaha

- Pekerja menerima PHK meski bukan karena kesalahannya

- Pernikahan antar pekerja (jika diatur oleh perusahaan)

- PHK Massal - karena perusahaan rugi, force majeure, atau melakukan efisiensi.

- Peleburan, penggabungan, perubahan status

- Perusahaan pailit

- Pekerja meninggal dunia

- Pekerja mangkir 5 hari atau lebih dan telah dipanggil 2 kali secara patut

- Pekerja sakit berkepanjangan

- Pekerja memasuki usia pensiun

3. PHK Sukarela

Pekerja dapat mengajukan pengunduran diri kepada pengusaha secara tertulis tanpa paksaan/intimidasi. Terdapat berbagai macam alasan pengunduran diri, seperti pindah ke tempat lain, berhenti dengan alasan pribadi, dan lain-lain. Untuk mengundurkan diri, pekerja harus memenuhi syarat: (i) mengajukan permohonan selambatnya 30 hari sebelumnya, (ii) tidak ada ikatan dinas, (iii) tetap melaksanakan kewajiban sampai mengundurkan diri.

Undang-undang melarang pengusaha memaksa pekerjanya untuk mengundurkan diri. Namun dalam praktik, pengunduran diri kadang diminta oleh pihak pengusaha. Kadang kala, pengunduran diri yang tidak sepenuhnya sukarela ini merupakan solusi terbaik bagi pekerja maupun pengusaha. Disatu sisi, reputasi pekerja tetap terjaga. Disisi lain pengusaha tidak perlu mengeluarkan pesangon lebih besar apabila pengusaha harus melakukan PHK tanpa ada persetujuan pekerja. Pengusaha dan pekerja juga dapat membahas besaran pesangon yang disepakati.

4. PHK Tidak Sukarela

4.1 PHK oleh Pengusaha

Seseorang dapat dipecat (PHK tidak sukarela) karena bermacam hal, antara lain rendahnya performa kerja, melakukan pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau kebijakan-kebijakan lain yang dikeluarkan pengusaha. Tidak semua kesalahan dapat berakibat pemecatan. Hal ini tergantung besarnya tingkat kesalahan.

Pengusaha dimungkinkan mem PHK pekerjanya dalam hal pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Ini, setelah sebelumnya kepada pekerja diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. Surat peringatan masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Pengusaha dapat memberikan surat peringatan kepada pekerja untuk berbagai pelanggaran dan menentukan sanksi yang layak tergantung jenis pelanggaran. Pengusaha dimungkinkan juga mengeluarkan misalnya SP3 secara langsung, atau terhadap perbuatan tertentu langsung mem PHK. Hal tersebut diatur dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB), dan dalam ketiga aturan tersebut, disebutkan secara jelas jenis pelanggaran yang dapat mengakibatkan PHK. Tak lupa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Selain karena kesalahan pekerja, pemecatan mungkin dilakukan karena alasan lain. Misalnya bila perusahaan memutuskan melakukan efisiensi, penggabungan atau peleburan, dalam keadaan merugi, pailit, maupun PHK terjadi karena keadaan diluar kuasa pengusaha (force majeure).

Undang-Undang No.13 Th 2003 pasal 153 dengan tegas melarang pengusaha melakukan PHK dengan alasan:

a.pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;

b.pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

c. pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

d. pekerja menikah;

e. pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;

f. pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam PK, PP, atau PKB;

g. pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja, pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam PK, PP, atau PKB;

h.pekerja yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;

i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;

j. pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

4.1.a Kesalahan Berat (UU No.13 Thn 2003 pasal 158)

Yang termasuk kesalahan berat ialah:

a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;

b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;

c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;

d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;

f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;

g. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

h. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau

i. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

4.2 Permohonan PHK oleh Pekerja

Pekerja juga berhak untuk mengajukan permohonan PHK ke Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI) bila pengusaha melakukan perbuatan seperti (i) menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja; (ii) membujuk dan/atau menyuruh pekerja untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (iii) tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 bulan berturut-turut atau lebih; (iv) tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja; (v) memerintahkan pekerja untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; (vi) memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.

4.3 PHK oleh Hakim

PHK dapat pula terjadi karena putusan hakim. Apabila hakim memandang hubungan kerja tidak lagi kondusif dan tidak mungkin dipertahankan maka hakim dapat melakukan PHK yang berlaku sejak putusan dibacakan.

4.4 PHK karena Peraturan Perundang-undangan

Pekerja yang meninggal dunia, Perusahaan yang pailit, dan force majeure merupakan alasan PHK diluar keinginan para pihak. Meski begitu dalam praktek force majeure sering dijadikan alasan pengusaha untuk mem-PHK pekerjanya.

5. Mekanisme PHK

Pekerja, pengusaha dan pemerintah wajib untuk melakukan segala upaya untuk menghindari PHK. Apabila tidak ada kesepakatan antara pengusaha pekerja/serikatnya, PHK hanya dapat dilakukan oleh pengusaha setelah memperoleh penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI).

Selain karena pengunduran diri dan hal-hal tertentu dibawah ini, PHK harus dilakukan melalui penetapan Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial (LPPHI). Hal-hal tersebut adalah :

a. pekerja masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;

b. pekerja mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;

c. pekerja mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau

d. pekerja meninggal dunia.

e. Pekerja ditahan

f. Pengusaha tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dituduhkan pekerja melakukan permohonan PHK

Selama belum ada penetapan dari LPPHI, pekerja dan pengusaha harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Sambil menunggu penetapan, pengusaha dapat melakukan skorsing, dengan tetap membayar hak-hak pekerja.

6. Perselisihan PHK

Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan hubungan industrial bersama perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja. Perselisihan PHK timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat antara pekerja dan pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak. Perselisihan PHK antara lain mengenai sah atau tidaknya alasan PHK, dan besaran kompensasi atas PHK.

6.1 Penyelesaian Perselisihan PHK

Mekanisme perselisihan PHK beragam dan berjenjang.

6.1.1 Perundingan Bipartit

Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antara pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian perselisihan.

Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangani para Pihak. Isi risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU No 2 Thn 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Apabila tercapai kesepakatan maka para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan. Perlunya mendaftarkan perjanjian bersama, ialah untuk menghindari kemungkinan salah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi.

Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka pekerja dan pengusaha mungkin harus menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit.

6.1.2 Perundingan Tripartit

Dalam pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih oleh para pihak:

6.1.2a. Mediasi (pasal 1 ayat 12 UU No. 2 Thn 2004)

Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas tenaga kerja kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuat perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran.

6.1.2b. Konsiliasi (pasal 1 ayat 13 UU No.2 thn 2004)

Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antara keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa anjuran.

6.1.2c. Arbitrase (pasal 1 ayat 15 UU No.2 Thn 2004)

Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang menolak putusan tersebut ialah permohonan pembatalan ke Mahkamah Agung. Karena adanya kewajiban membayar arbitrer, mekanisme arbitrase kurang populer.

6.2. Pengadilan Hubungan Industrial

Pihak yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk pertamakalinya didirikan di tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap kabupaten/ kota. Tugas pengadilan ini antara lain mengadili perkara perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima permohonan dan melakukan eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar.

Selain mengadili Perselisihan PHK, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) mengadili jenis perselisihan lainnya: (i) Perselisihan yang timbul akibat adanya perselisihan hak, (ii) perselisihan kepentingan dan (iii) perselisihan antar serikat pekerja.

6.3. Kasasi (Mahkamah Agung)

Pihak yang menolak Putusan PHI soal Perselisihan PHK dapat langsung mengajukan kasasi (tidak melalui banding) atas perkara tersebut ke Mahkamah Agung, untuk diputuskan.

Lanjut ke Bag-3