Jumat, 15 Juli 2011

Effect of Voltage and Frequency 50 Hz/60Hz on the performance of electrical equipment in industry and households.

A question: I have a machine with some electric motors & electronic card inside. The machine specification is 440 Vac, 60 Hz. What is happened with the machine if the available voltage supply only 415 Vac and 50 Hz?.

Discussion:

My experience a voltage drop to 8% below the standard is still OK but electronic equipments becomes sensitive to be damage, if power main breaker suddenly trip. Indeed, the IEEE 446-1995 standard limits the voltage rise is equal to +6% and limits the voltage drop of -13% but my practical experience, it is wise enough to limit the maximum voltage fluctuation of + - 5% of the required equipment voltage. The reason 'particularly in industries' is because many electrical appliances are used with various types and reliability of the equipment against voltage fluctuations are also different.

If the supply voltage drops, the power (Kw) electric motor will decrease as well, so it no longer resembles as in its nameplate although it still can be used to run electric motors as long as the load is still below its Kw nameplate. The power 3 phase motor can be calculated according to the formula P_3phase = 1732 x V_pp x I_line x cos (psi); (note: pp = phase to phase; I = electric current) and power for 1 phase motors are being calculated according to the formula P_1phase = V_pn x I_pn x cos (psi); (pn = phase to neutral).

When the load of the motor same as in the nameplate, then the current (I_line for 3 phase motors or I_pn for motor 1 phase) will rise above its nameplate rating amp, but because Thermal Overload Relay (T.O.R) protection activated, these motors still safe from burnout asl ong as the T.O.R is set not greater than the service factor. If frequency supply is down then the speed of the electric motor will also decrease as in the formula n_rpm = 120f / p, p = number of poles; _Hz f = supply frequency. The reduction in speed will decrease motor cooling fan, then the motor becomes more hot and as a consequence the insulation lifetime on the motor stator windings becomes more short

Picture-1: Nameplate of the electric motor

With the frequency and voltage lower it can cause decrease the ac performance of the solenoid coil on the hydraulic/pneumatic system, coil on the relay or contactor will also be decreased according to the principles described above.

Now let's look at the existing voltage and frequency:

3 phase voltage drop = 415/440 = 0.94 (down 6%)

Voltage per phase is calculated:

Standard equipment = 440/1.732 = 254 Vac

Voltage available = 415/1.732 = 239.6 Vac

Then drop in voltage = 239/254 = 0.94 (down 6%)

Decreased frequency = 50/60 = 83% (down 17%) .. what will happen?

Lets look its theory:

We know electronic devices such as a driver for dc motors will use a dc voltage / current (direct current) and the frequency will be lost last in the rectifier. Any electronic devices supplied with an ac voltage (alternating current) will have a rectifier circuit in it.

After ac supply become a dc voltage/current, there is no longer called with frequency because the frequency changes to zero. With the decline in frequency from 60Hz to 50 Hz then the graph of a wave of alternating voltage is transformed into a dc voltage will become less at the same duration time when compared between the graph at 60 Hz and 50 Hz. As a result, the average dc voltage generated will be reduced from the standard voltage appliance because the voltage ripple generated will be greater. If the ac voltage supply also down then consequently the rectifier dc output voltage is automatically also more down.

Picture-2: Full wave rectifier with filter capacitor

Picture-3: Graphic of full wave rectifier with filter capacitor

The equation of the full-wave rectifier with filter capacitor can be written as below:

Vdc = Vm - (Vr/2) ... (eq-1)

Vr = (Idc/2fC) ... (eq-2)

Where:

Vm = Maximum ac supply voltage,. Vout = Vdc (average), Vr = voltage ripple, f = frequency supply and C = capacitance of the capacitor. The maximum ac voltage is Vm = Vrms * 1414. Vrms = V2 = actual reading of output step down transformer in the rectifier (rms = root mean square)

The principle as follows;

From equation (1) and (2) above shows the value of Vr will be higher when the frequency f lower as long as current Idc and C are constant. Thus for a fixed sinusoidal voltage supply V2 and frequency decreased then the output Vdc of rectifier will lower. If both voltage supply and frequency is down then the value of Vr will increase and Vm will decrease so that the output dc voltage of the rectifier ​​will be smaller than the previous value of the above.

Example: Suppose the value of Idc and C fixed and step-down transformer of the rectifier has a ratio of 254/26 volt. So, for voltage supply 254 Vac and 60 Hz. Vr = Idc/120C, Vm = 26 * 1414 = 36.76 volts. So Vdc1 = 36.76 - Idc/240C.

For voltage supply 254Vac; 50Hz then Vdc2 = 36.76 - Idc/200C;

For voltage 239.6 and 50 Hz then the transformer secondary voltage V2 = 239 x (26/254) = 24.46 volts. Vm = 24.46 x 1.414 = 34.59 volts.

Vdc3 = 34.59 - Idc/200C.

From the above equation can be deduced Vdc1> Vdc2 and Vdc2> Vdc3. The order becomes Vdc1> Vdc2> Vdc3

Thus if the dc voltage supply drop and the load power rectifiers are still constant, then current rectifier output will increase which will cause an increase in current in an electric components of the rectifier’s load. How many percent reduction of frequency will affect the performance or even cause damage to electronic equipments?. According to the 1995 IEEE std 446 frequency fluctuations are still allowed is equal to + - 0.5 Hz of standard equipment nameplate. My practical experience with the standard use of electronic devices powered by the frequency of 60Hz but supplied by 50Hz would cause the device not operate unless the name plate of such equipment written that it can be used for a frequency of 50 Hz or 60Hz.


Terjemah dalam bahasa Indonesia:

Pengaruh Tegangan dan Frekuensi 50 Hz/60Hz terhadap kinerja peralatan listrik di industri dan rumah tangga

Sebuah pertanyaan: Seandainya saya memiliki peralatan listrik yang terdiri dari motor-motor listrik AC yang dikontrol dengan menggunakan peralatan elektronik. Spesifikasi alat adalah 440 Vac;60 Hz. Apakah akibatnya pada peralatan saya tersebut seandainya catu tegangan yang tersedia sebesar 415 Vac dan 50 Hz.

Pembahasan:

Pengalaman saya penurunan tegangan sampai 8% dibawah standarnya masih OK hanya saja alat-alat electronic menjadi rawan kerusakan, untuk itu perlu dijaga jangan sampai main breaker tiba-tiba trip. Bila tiba-tiba main power trip, biasanya alat-alat electronic ada yang rusak. Memang standar IEEE 446 Tahun 1995 batas kenaikan tegangan adalah sebesar +6% dan batas penurunan tegangan sebesar -13%. Dari pengalaman praktis untuk amannya peralatan-peralatan listrik adalah cukup bijaksana untuk membatasi fluktuasi tegangan maksimal +- 5% dari tegangan yang diminta alat. Alasannya ‘khususnya didunia industri’ adalah dikarenakan banyaknya peralatan listrik yang dipakai dengan bermacam-macam jenis dan keandalan alat terhadap fluktuasi tegangan juga berbeda-beda.

Apabila catu tegangan turun, maka daya (Kw) motor-motor listrik akan menurun juga, sehingga tidak lagi seperti nameplate-nya walaupun tegangan ini masih bisa dipakai untuk memutar motor-motor listrik asalkan beban motor-motor tersebut masih dibawah rating Kw nameplate-nya. Besar Kw motor 3 phase dapat dihitung sesuai rumus P_3phase = 1.732 x V_pp x I_line x cos (psi); (note: pp = phasa ke phasa; I = arus listrik). Sedang Kw motor 1 phase dihitung sesuai rumus P_1phase = V_pn x I_pn x cos (psi); (pn = phasa ke netral).

Bila beban sebesar rating Kw nameplate motor, maka arus (I_line untuk motor 3 phase atau I_pn untuk motor 1 phase) akan naik diatas rating Amp nameplate-nya tetapi karena proteksi Thermal Overload Relay (T.O.R) bekerja, motor tersebut masih aman dari terbakar dengan ketentuan T.O.R tersebut diset tidak lebih besar dari service factor motornya. Bila frekuensi supply turun maka putaran motor listrik juga akan turun sesuai rumus n_rpm = 120f/p ; p =jumlah kutub; f _Hz= supply frekwensi. Penurunan putaran ini akan mengakibatkan pendinginan kipas turun dan motor akan terasa lebih panas sehingga umur isolasi pada gulungan stator motor juga semakin berkurang. Lihat picture-1 untuk memperlihatkan karakteristik sebuah motor listrik

Dengan turunnya frekuensi serta tegangan dapat mengakibatkan kinerja ac solenoid coil pada system hidrolic, coil pada relay maupun kontaktor juga akan menurun sesuai prinsip yang diterangkan diatas.

Sekarang mari kita lihat tegangan dan frekwensi yang ada:

Penurunan tegangan 3 phasa = 415/440 = 0.94 (turun 6%)

Tegangan per phasa dihitung:

Standard alat = 440/1.732 =254 Vac

Tegangan yang ada = 415/1.732= 239.6 Vac

Maka penurunan tegangan = 239/254 = 0.94 ( turun 6%)

Penurunan frekuensi = 50/60 = 83% (turun 17%)..apa yang akan terjadi?

Teorinya:

Kita tahu alat-alat electronic misalnya driver untuk penggerak motor-motor dc akan menggunakan tegangan/arus dc (direct current) dan fungsi frekuensi terakhir berlaku dititik penyearah tegangan/arus. Setiap alat-alat electronic yang dicatu dengan tegangan ac (alternating current) akan memiliki rangkaian penyearah didalamnya.

Setelah menjadi tegangan/arus dc tidak ada lagi yang dinamakan dengan frekuensi karena harga frekuensi tersebut berubah menjadi nol. Dengan turunnya frekuensi dari 60Hz menjadi 50 Hz maka grafik jumlah gelombang tegangan bolak-balik yang berubah menjadi tegangan dc akan menjadi semakin sedikit persatuan waktu yang sama bila dibandingkan antara grafik pada 60 Hz dan 50 Hz . Akibatnya tegangan dc rata-rata yang dihasilkan akan menurun dari tegangan standar alatnya karena tegangan ripple yang ditimbulkan akan semakin besar. Apabila catu tegangan ac juga turun maka akibatnya tegangan dc output penyearah tersebut otomatis juga akan semakin turun. Lihat picture 2 dan 3 untuk skema rangkaian penyearah

Secara rumus untuk penyearah gelombang penuh dengan filter capacitor dapat dituliskan bahwa harga :

Vdc = Vm - (Vr/2)…(pers-1)

Vr = (Idc/2fC)…(pers-2)

Dimana:

Vm= Catu tegangan maksimum bolak-balik. Vout = Vdc (rata-rata), Vr = Tegangan ripple, f = catu frekuensi dan C besar kapasitansi capasitor. Tegangan maksimum ac adalah Vm = Vrms * 1.414, Vrms = V2 = actual pembacaan output trafo step down penyearah (rms = root mean square)

Prinsip kerjanya sebagai berikut;

Dari persamaan (1) dan (2) diatas terlihat harga Vr akan membesar bila f makin mengecil untuk arus Idc dan C yang sama. Dengan demikian untuk catu tegangan sinusoidal yang tetap dan frekuensi diturunkan maka Vdc yang keluar dari penyearah akan mengecil. Apabila catu tegangan bolak balik dan frekuensi turun maka harga Vr membesar dan Vm mengecil sehingga tegangan dc yang keluar dari penyearah arus (rectifier) akan lebih kecil lagi dari harga sebelumnya diatas.

Contoh: Andaikan harga Idc dan C tetap dan trafo step down penyearah arus alat elekronik memiliki rasio sebesar 254/26 volt. Maka untuk catu tegangan 254 Vac dan 60 Hz . Vr = Idc/120C, Vm =26*1.414 = 36.76 volt. Jadi Vdc1 = 36.76 – Idc/240C.

Untuk catu tegangan 254Vac ;50Hz maka Vdc2 = 36.76 – Idc/200C;

Untuk tegangan 239.6 dan 50 Hz maka tegangan sekunder trafo V2 = 239 x (26/254) = 24.46 volt. Vm = 24.46 x 1.414 = 34.59 volt.

Vdc3 = 34.59 – Idc/200C.

Dari persamaan diatas dapat ditarik kesimpulan Vdc1 > Vdc2 dan Vdc2 > Vdc3. Urutannya menjadi Vdc1 > Vdc2 > Vdc3

Dengan demikian kalau catu tegangan DC turun sedang beban daya rectifier tersebut tetap maka arus keluaran penyearah akan naik yang akan menyebabkan kenaikan arus pada komponen2 listrik beban penyearah tersebut. Berapakah besar persen penurunan frekuensi akan mempengaruhi kinerja atau bahkan menyebabkan kerusakan pada alat2 elektronik?. Menurut IEEE std 446 tahun 1995 fluktuasi frekuensi yang masih diizinkan adalah sebesar +- 0.5 Hz dari nameplate standard alat. Sesuai pengalaman praktis pemakaian alat electronic dengan standard 60Hz tetapi dicatu dengan frekuensi 50Hz akan menyebabkan alat menjadi tidak berfungsi kecuali pada name plate alat tersebut dituliskan dapat dipakai untuk frekuensi 50 Hz ataupun 60Hz.

Download artikel dalam bahasa Indonesia à



Senin, 13 Juni 2011

Memahami Masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Perusahaan Bag-5

9. Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama

Pasal 104 UU No.13 Thn 2003 mengatakan:

1.Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh

2.Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 102, serikat pekerja/serikat buruh berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok

3.Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan

Ketentuan umum pada pasal 1 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.48/MEN/IV/2004 mengatakan:

1.Peraturan Perusahaan* adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan

2.Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak

Note:

UU No. 13 Thn 2003 pasal 1 ayat (6) mengatakan:

Perusahaan adalah:

a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum baik milik swasta maupun milik Negara yang mepekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain

Tata cara pembuatan Peraturan Perusahaan terdapat pada pasal 2 ; KEP.48/MEN/IV/2004 mengatakan:

1.Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib memuat Peraturan perusahaan

2.Isi dari peraturan perusahaan adalah syarat kerjayang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan dan rincian pelaksanaan ketentuan dalam perturan perundang-undangan

3.Dalam hal peraturan perusahaan akan mengatur kembali materi dari peraturan perundangan maka ketentuan dalam peraturan perusahaan tersebut harus lebih baik dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan

Pasal 3 pada keputusan menteri tersebut mengatakan:

1.Peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dibuat dan disusun oleh pengusaha dengan memperhatikan saran dan pertimbangan terhadap wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan

2.Wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat tidak memberikan saran dan pertimbangan terhadap peraturan perusahaan yang diajukan oleh pengusaha

3.Wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih oleh pekerja/buruh secara demokratis mewakili dari setiap unit kerja yang ada diperusahaan

Persyaratan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama terdapat pada pasal 12 KEP.48/MEN/IV/2004 mengatakan:

1.Perjanjian Kerja Besama dirundingkan oleh serikat/ekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha

2.Perundingan perjanjian kerja bersama harus dibatasi itikad naik dan kemauan bebas kedua belah pihak

3.Perundingan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) dilakukan secara musyawarah untuk mufakat

4.Lamanya perundingan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak dan dituangkan dalam tata tertib perundingan

@copyright

Sumber:

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan; Download>

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ; Download>

- Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP. 48/MEN/IV/2004 Tentang Tata Cara Pembuatan Dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan Dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama; Download>

- Sumber-sumber lain

Memahami Masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Perusahaan Bag-4

Besaran perkalian pesangon, tergantung alasan PHK-nya. Besaran pesangon dapat ditambah tapi tidak boleh dikurangi. Besaran kompensasi (Uang Pesangon/ Uang Pisah) tergantung alasan PHK Seperti terlihat pada tabulasi dibawah ini:

Note: PP = Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama

8.1 Contoh Perhitungan Uang Kompensasi (Karyawan di PHK oleh Perusahaan)

Contoh 1:

Badu seorang teknisi tinggal di Jakarta telah bekerja selama sepuluh tahun di PT Manahan Pagarubuh yang juga berdomisili di Jakarta, dengan upah Rp 3 juta per bulan. Ia kemudian di PHK oleh perusahaannya karena melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja.

Maka, Badu berhak atas kompensasi sebesar:

UP = Rp 3.000.000 x 1 x 9 = Rp. 27.000.000, {3 juta dikali 1 UP (karena melanggar Perjanjan kerja) dikalikan dengan 9 bulan upah}

UPMK = Rp 3.000.000 x 1 x 4= Rp.12.000.000,- (tiga juta kali 4 bulan upah, karena masa kerja 10 tahun

UPH = 15% x (27 juta + 12 juta) =Rp 5.850.000,- ( misalnya perhitungan UPH ini disebutkan cara menghitungnya dalam peraturan perusahaan/perjanjian kerja bersama)

Total Kompensasi = UP + UPMK + UPH

Total Kompensasi = Rp.27.000.000 + Rp.12.000.000 + Rp.5.850.000 = Rp. 44.850.000,-

8.2 Contoh Perhitungan Uang Kompensasi (Karyawan Meninggal Dunia)

Contoh 2:

Sesuai dengan UU No.13 Thn 2003 pasal 166 yang mengatakan bahwa: Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4).

Dengan demikian bila Badu sesuai pada contoh 1 diatas setelah 10 tahun bekerja tiba-tiba meninggal dunia maka besar kompensasi yang diperoleh adalah:

UP = (Rp 3.000.000 x 2 x 9) = Rp. 54.000.000,

UPMK = (Rp 3.000.000 x 1 x 4) = Rp.12.000.000,- (tiga juta kali 4 bulan upah, karena masa kerja 10 tahun)

UPH = 15% x (27 juta + 12 juta) = Rp 5.850.000,- Jumlah 27 juta didapat dari 1 x UP = ((Rp 3 juta x 1 x 9) = 27 juta)

Total Kompensasi = UP + UPMK + UPH

Total Kompensasi = Rp.54.000.000 + Rp.12.000.000 + Rp 5.850.000 = Rp. 71.850.000,-

8.3 Contoh Perhitungan kompensasi Uang Pisah (Karyawan Mengundurkan Diri)

Contoh 3:

Karyawan dengan jabatan Operator Mesin bernama Ahmad yang sudah bekerja selama 6 tahun 2 bulan mengundurkan diri dari PT.Manahan Pagarubuh. Pada saat pengunduran diri gaji Ahmad sebesar Rp. 1.200.000,-/bulan ditambah uang transport yang sifatnya tetap sebesar Rp.320.000/bulan. Selain itu ada uang makan sebesar Rp. 10.000/kehadiran.

Perhitungan Uang Pisah :

Uang Pisah = {(upah pokok + Tunjangan Tetap ) x besar uang pisah } + Penggantian Perumahan sebesar 15% uang pisah. Maka:

Uang Pisah = {(Rp.1.200.000 + Rp.320.000) x 3} x 115%; (Rp. 1.520.000 kali 3 bulan upah, karena masa kerja 6 tahun lebih dikali 115%)

Uang Pisah = (Rp.1.520.000 x 3 ) x 115%

Uang Pisah = Rp.4.560.000 x 115%

Total Uang Pisah yang diterima Ahmad = Rp.5.244.000

Uang makan tidak dihitung karena sifatnya tidak tetap kecuali ditetapkan dalam peraturan perusahaan sebagai komponen uang penggantian hak.

8.4 Contoh Perhitungan Uang kompensasi karena karyawan Pensiun

Pasal 167 ayat (5) UU No. 13 Thn 2003 mengatakan: (5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada progam pension maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4).

Dalam hal pensiun, UU No.13 Thn 2003 tidak mensyaratkan permasalahan jabatan terakhir. Semua level jabatan mendapat cara perhitungan uang kompensasi yang sama.

Untuk memberikan contoh perhitungan mari kita lihat dahulu contoh slip gaji karyawan yang bernama Teguh sebagai berikut:

Mari kita analisa dahulu slip gaji Teguh:

- Upah = GAJI KOTOR (1) = Rp. 5.000.000

- Gaji bersih (uang yang dibawa pulang) pada bulan Januari 2011 = (1) – (2) = Rp.4.614.286

- Potongan Jam kerja didapat dari: a. Gaji perhari =(Rp. 5000.000/30) = Rp.166.667,7/hari

(dianggap rata-rata 1 bulan = 30 hari dalam satu tahun)

b. Gaji per jam = (Rp. 166.667,7)/7 = Rp. 23.809,5/jam

(dianggap rata-rata 1 hari = 7 jam kerja dalam tiap bulan)

- Potongan jam kerja selama 1.5 jam = Rp.23.809,5 x 1.5 = Rp. 35.714

- Premi Jaminan Sosial Tenaga kerja (JAMSOSTEK) dibayar sendiri oleh karyawan dari gajnya setiap bulan = 2% x Rp. 5.000.000 = Rp.100.000

- Potongan lain-lain Rp. 250.000 karena membayar cicilan koperasi karyawan

Contoh 4a: Hitunglah besar uang kompensasi yang diterima teguh bila pada bulan Pebruari 2011 ia sudah pensiun (usia 55 tahun). Beliau mulai bekeja sejak Maret tahun 1999. Dengan demikian lamanya beliau bekerja = 2011 – 1999 = 11 tahun 11 bulan.

- Uang pesangon (UP) = (Rp 5.000.000 x 2 x 9) = Rp. 90.000.000, (masa kerja lebih 8 tahun pasal 156 ayat (2))

- Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) = (Rp 5.000.000 x 1 x 4) = Rp.20.000.000,- (lima juta kali 4 bulan upah, karena masa kerja kurang dari 12 tahun , pasal 156 ayat (3))

- Uang Penggantian Hak (UPH) = 15% x (45 juta + 20 juta) = Rp 9.750.000,- Jumlah 45 juta didapat dari 1 x UP = ((Rp 5 juta x 1 x 9) = 45 juta) . (Dalam contoh ini misalnya dalam PP/PKB besar UPH ditetapkan disebutkan seperti itu cara menghitungnya

Total Kompensasi = UP + UPMK + UPH

Total Kompensasi = Rp.90.000.000 + Rp.20.000.000 + Rp 9.750.000 = Rp. 119.750.000,-

Pasal 167 ayat (1) UU No.13 2003 mengatakan: (1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan pasal 156 ayat (3), tetapi berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4).

Pasal 167 ayat (2) UU No.13 2003 mengatakan: (2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ternyata lebih kecil daripada uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja kerja 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.

Contoh 4b (contoh yang sejalan dengan pasal 167 ayat (1):

Hitunglah besar uang kompensasi yang diterima Andorano yang memasuki usia pensiun pada bulan Pebruari 2011 ia sudah pensiun (usia 55 tahun). Beliau mulai bekeja sejak Maret tahun 1999. Pada waktu pensiun gaji pokok yang diperoleh sebesar Rp.4.500.000/bulan,- dan hanya mendapat tunjangan kesehatan sebesar Rp. 500.000/bulan. Disamping itu selama bekerja perusahaan mengikutkan beliau dalam program pensiun yang besarnya 1.000.000/bulan. Sisa cutinya pada saat itu adalah 15 hari. Beliau diterima bekerja di Jakarta untuk penempatan di kota medan dan pada waktu pensiun KTP nya sudah di medan.

- Uang Pesangon (UP) = (Rp 5.000.000 x 2 x 9) = Rp. 90.000.000, (masa kerja lebih 8 tahun pasal 156 ayat (2))

- Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) = (Rp 5.000.000 x 1 x 4) = Rp.20.000.000,- (lima juta kali 4 bulan upah, karena masa kerja kurang dari 12 tahun , pasal 156 ayat (3))

- Uang Penggantian Hak (UPH)

* Uang Cuti = (15/30) x Rp. 5.000.000 = Rp. 2.500.000,-

* Ongkos Pulang ke Jakarta = 0 (nol) rupiah karena beliau telah pindah ke Medan

* Penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan= 15% x (Rp. 45 Juta + Rp.20 Juta) = Rp. 9.750.000

Tutal uang penggantian Hak = Rp. 2.500.000 + Rp. 9.750.000 = Rp.12.250.000

Total Uang Kompensasi = Rp. 90.000.000 + Rp. 20.000.000 + Rp. 12.250.000 = Rp. 122.250.000

Sedangkan Uang yang telah dikeluarkan pengusaha pada program pensiun karyawan = Rp. 300.000 X 11 tahun 11 bulan = Rp.1.000.000/bulan x 143 bulan = Rp. 143.000.000

Karena uang jaminan pensiun lebih kecil dari perhitungan kompensasi uang pensiun ( Rp. 143.000.000 > Rp. 122.250.000) maka dengan demikian pekerja/buruh tersebut hanya memperoleh uang penggantian hak dari perusahaan yang besarnya = Rp.12.500.000,-. Dengan demikian uang akan diperoleh pekerja adalah Rp. 143.000.000 + Rp.12.500.000 = Rp. 155.500.000

Contoh 4c:

Hitunglah besar uang kompensasi yang diterima Andorano yang memasuki usia pensiun pada bulan Pebruari 2011 ia sudah pensiun (usia 55 tahun). Beliau mulai bekeja sejak Maret tahun 1999. Pada waktu pensiun gaji pokok yang diperoleh sebesar Rp.4.500.000/bulan,- dan hanya mendapat tunjangan kesehatan sebesar Rp. 500.000/bulan. Disamping itu selama bekerja perusahaan mengikutkan beliau dalam program pensiun yang besarnya 300.000/bulan. Sisa cutinya pada sat itu adalah 15 hari. Beliau diterima bekerja di Jakarta untuk penempatan di kota medan dan pada waktu pensiun KTPnya sudah di medan.

Pasal 167 ayat (3) UU No.13 Thn 2003 mengatakan: (3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.

Pasal 167 ayat (4) UU No.13 Thn 2003 mengatakan: (4) ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 167 ayat (6) UU No.13 Thn 2003 mengatakan: (6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Contoh 4d:

Hitunglah besar uang kompensasi yang diterima Andorano yang memasuki usia pensiun pada bulan Pebruari 2011 ia sudah pensiun (usia 55 tahun). Beliau mulai bekeja sejak Maret tahun 1999 untuk penempatan di kota Medan dari Jakarta . Pada waktu pensiun gaji pokok yang diperoleh sebesar Rp.4.500.000/bulan,- dan hanya mendapat tunjangan kesehatan sebesar Rp. 500.000/bulan. Disamping itu selama bekerja perusahaan mengikutkan beliau dalam program pensiun yang besarnya 300.000/bulan tetapi separuhnya dibayar oleh perusahaan (Rp. 150.000) sedangkan sisanya sebesar Rp. 150.000,- dibayar sendiri oleh Andorano yang dipotong dari gajinya/bulan. Sisa cuti yang belum diambil 24 hari.

- Uang Pesangon (UP) = (Rp 5.000.000 x 2 x 9) = Rp. 90.000.000, (masa kerja lebih 8 tahun pasal 156 ayat (2))

- Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) = (Rp 5.000.000 x 1 x 4) = Rp.20.000.000,- (lima juta kali 4 bulan upah, karena masa kerja kurang dari 12 tahun , pasal 156 ayat (3))

- Uang Penggantian Hak (UPH)

* Uang Cuti = (24/30) x Rp. 5.000.000 = Rp. 4.000.000,-

* Ongkos Pulang ke Jakarta = Rp. 500.000

* Penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan= 15% x (Rp. 45 Juta + Rp.20 Juta) = Rp. 9.750.000

Tutal uang penggantian Hak = Rp. 4.000.000 + Rp. 500.000 + Rp. 9.750.000 = Rp.14.250.000

Total Uang Kompensasi = Rp. 90.000.000 + Rp. 20.000.000 + Rp. 14.250.000 = Rp. 124.250.000

Sedangkan Uang yang telah dikeluarkan pengusaha pada program pensiun karyawan = Rp. 150.000 X 11 tahun 11 bulan = Rp.150.000/bulan x 143 bulan = Rp. 21.450.000

Karena uang jaminan pensiun lebih kecil dari perhitungan kompensasi uang pensiun ( Rp. 21.450.000 < Rp. 124.250.000) maka pengusaha harus membayar kekurangannya kepada Andorra sebesar = Rp.124.250.000 – Rp. 21.450.000 = Rp. 102.800.000,-. Total uang yang diperoleh pekerja = Rp.124.500.000

Lanjut ke Bag-5




Minggu, 12 Juni 2011

Memahami Masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Perusahaan Bag-3

7. Kompensasi PHK

Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar kompensasi yang terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu: uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH). UP, UPMK, dan UPH dihitung berdasarkan upah karyawan dan masa kerjanya.

Perhitungan uang pesangon (UP) yang terdapat pada UU No.13/ 2003 pasal 156 ayat (2) paling sedikit sebagai berikut :

Masa Kerja Uang Pesangon

masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 (satu) bulan upah;

masa kerja 1 - 2 tahun, 2 (dua) bulan upah*;

masa kerja 2 - 3 tahun, 3 (tiga) bulan upah;

masa kerja 3 - 4 tahun, 4 (empat) bulan upah;

masa kerja 4 - 5 tahun, 5 (lima) bulan upah;

masa kerja 5 - 6 tahun, 6 (enam) bulan upah;

masa kerja 6 - 7 tahun, 7 (tujuh) bulan upah.

masa kerja 7 – 8 tahun, 8 (delapan) bulan upah;

masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

*)Note:

UU No. 13 Thn 2003 Pasal 1 Ayat 30 : Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

UU No.13 Thn 2003 pasal 90 ayat (1) : pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 89

UU No.13 thn 2003 Pasal 89 ayat (1 dan (2)): (1)Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 88 ayat (3) huruf a terdiri atas : a. Upah minimum berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten/kota. B upah minimum berdasarkan sector pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota (2). Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.

UU No.13 thn 2003 pasal 91 ayat (1): Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

UU No.13 Pasal 88 : (1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh

(3). Kebijakan pengupahan yang melindingi pekerja/buruh sebagai mana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. upah minimum; b. Upah kerja lembur; c.upah tidak masuk kerja karena berhalangan; d. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar pekerjaan; e. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; f. Bentuk dan cara pembayaran upah; g. Denda dan potongan upah; h. Hah-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; i. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional; j. Upah untuk pembayaran pesangon; dan k. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan

UU No.13 Thn 2003 pasal 157 ayat (1): Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas: a. Upah pokok; b. Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.

Perhitungan uang penghargaan masa kerja (UPMK) pada UU No. 13/2003 pasal 156 ayat (3) paling sedikit ditetapkan sebagai berikut:

Masa Kerja UPMK

masa kerja 3 - 6 tahun 2 (dua) bulan upah;

masa kerja 6 - 9 tahun 3 (tiga) bulan upah;

masa kerja 9 - 12 tahun 4 (empat) bulan upah;

masa kerja 12 - 15 tahun 5 (lima) bulan upah;

masa kerja 15 - 18 tahun 6 (enam) bulan upah;

masa kerja 18 - 21 tahun 7 (tujuh) bulan upah;

masa kerja 21 - 24 tahun 8 (delapan) bulan upah;

masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah

Sedangkan Uang penggantian hak (UPH) pada UU No. 13/2003 pasal 156 ayat (4) yang seharusnya diterima meliputi :

a.cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

b.biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh* diterima bekerja;

c.penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;

d.hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

* )Note: UU No.13 Thn 2003 pasal 1 ayat (3) : Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain

Ada beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh perusahaan dalam menentukan UANG PISAH (karena karyawan mengundurjan diri):

1.Jika dalam perusahaan ada PKB ( Perjanjian Kerja Bersama ) antara perusahaan dengan Serikat Pekerja, maka besarnya uang pisah sesuai kesepakatan yang sudah dibuat. Biasanya lebih besar dari Undang-undang.

2. Adakalanya juga karyawan langsung bernegosiasi dengan perusahaan. Biasanya hasilnya juga akan lebih besar dari PKB ataupun Undang-undang.

3.Undang-Undang no 13 th 2003 pasal 162 dan pasal 156 ayat 4, merupakan besaran normatif yang harus diberikan oleh pengusaha kepada pekerja dan tidak boleh lebih rendah dari ini.

Tetapi terkadang perusahaan tidak mau membayarkan uang pisah sesuai point ketiga diatas dengan berdalih bahwa pasal 162 ayat 2 yang bunyinya: ”Bagi pekerja/buruh* yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat(4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama”.

*) Note: UU no.13 Thn 2003 pasal 162 ayat (1) & (3):

(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4)

(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat: a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; b. Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

Menurut mereka yang dimaksud dengan mewakili kepentingan pengusaha secara langsung adalah orang-orang yang memiliki jabatan tertentu dan memilki bawahan/anggota dalam kelompok kerjanya. Padahal dalam ketentuan pasal 1 UU No.13 tahun 2003 ayat (5) sudah ditegaskan bahwa:

(5) Pengusaha adalah:

a.orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri

b.orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c.orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Jadi jelaslah bahwa yang dimaksud dengan orang yang mewakili kepentingan pengusaha secara langsung adalah orang yang dalam aktifitasnya dalam perusahaan tersebut akan memberikan laporan kerja secara langsung kepada pihak pengusaha (pemilik modal). Jabatan ini biasanya dipegang orang yang setingkat dengan General Manager, Grup Director dll.

Kadang jumlah uang pisah yang ditetapkan pada peraturan perusahaan bagi karyawan yang mengundurkan diri juga tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 13 Thn 2003 pasal 156 ayat (3) padahal pada UU No. 13 Thn 2003 pasal 111 ayat (2) disebutkan bahwa: “(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Dan juga pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP/48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan Dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama disebutkan pada Pasal 2 ayat 3 bahwa: “3. Dalam hal peraturan perusahaan akan mengatur kembali materi dari peraturan perundangan maka ketentuan dalam peraturan perusahaan tersebut harus lebih baik dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan”.

Dalam menentukan uang pisah criteria yang dipakai biasanya berdasarkan masa kerja, untuk itu supaya tidak bertentangan dengan UU No. 13 Thn 2003 dan KEP/48/MEN/IV/2004 diatas tidak ada jalan lain untuk menentukan besarannya, kecuali minimal berdasarkan pasal 156 ayat (3)

Kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan pengusaha tidak mau membayarkan uang pisah bagi karyawan yang mengundurkan diri sesuai ketentuan undang-undang adalah:

1.Pengusaha sama sekali tidak tahu tentang ketentuan undang-undang yang berlaku

2.Pengusaha sengaja membiarkan persoalan uang pisah dipermasalahkan oleh karyawan yang mengundurkan diri dengan iktikad tidak baik sebagai berikut:

a.Kalau karyawan tersebut menuntut dan menang dipengadilan barulah dibayar sesuai ketentuan kalau tidak dituntut perusahaan akan untung.

b.Umumnya karyawan yang mengundurkan diri tidak punya waktu lagi untuk menuntut karena selain masih dalam tahap percobaan ditempat kerja yang baru (takut ketahuan menuntut dan reputasi menjadi jelek selama masa percobaan) maupun tidak ada uang dan waktu untuk membayar pengacara mengikuti sidang-sidang perkara. Ditambah lagi apabila uang yang akan dituntut kadang juga tidak seberapa jumlahnya. Kondisi inilah yang dimanfaatkan pengusaha untuk tidak membayar uang pisah sesuai ketentuan.

Untuk mencegah pengusaha melakukan tindakan melanggar undang-undang sedapat-dapatnya karyawan diperusahaan tersebut harus membentuk organisasi semacam ikatan kekeluargaan ataupun serikat pekerja. Tujuannya untuk menjembatani kepentingan karyawan dengan pengusaha sehingga tidak ada yang dirugikan.

Diatas tadi kita sudah membahas masalah PHK (mengundurkan diri) yang memenuhi kriteria UU No.13 Thn 2003 pasal 162 ayat (2). Ternyata didalam pasal 162 ayat (1) undang-undang ketenagakerjaan itu disebutkan bahwa: (1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4). Artinya komponen kompensasi yang dua lagi yaitu uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja tidak diperhitungkan bagi pekerja yang masuk dalam kriteria pasal 162 ayat(1) diatas. Siapakah pekerja yang memenuhi kriteria pasal 162 ayat (1) itu?. Kalau ditilik dari definisi pengusaha sesuai pasal 1 ayat (5) UU No.13 Thn 2005 tentulah orang-orang yang dimaksud dalam pasal 162 ayat (2) dan dicocokkan lagi dengan criteria yang diluar yang disebutkan pada pasal 162 ayat(2) adalah pekerja yang dalam aktifitasnya diperusahaan tersebut akan memberikan laporan kerja secara langsung kepada pengusaha (biasanya jabatan ini setara dengan General Manager). Jabatan ini biasanya dipegang oleh Manager atau sejenisnya. Jikalau struktur jabatan tidak jelas sehingga sulit untuk menentukannya , boleh dilihat dari skala golongan pekerja tersebut. Orang-orang yang memiliki skala golongan satu kelas dibawah pengusaha (biasanya jabatan dibawah GM) itulah orangnya.

Persoalannya, apakah pekerja dengan golongan yang setingkat tersebut tidak layak untuk mendapatkan uang pisah yang lebih dari hanya sekedar ketentuan pasal 156 ayat (4) ?. Padahal pekerja yang sekelas manager tentulah memiliki kontribusi yang berarti pada perusahaan apalagi sudah bekerja puluhan tahun yang karena satu dan lain hal harus mengundurkan diri. Disinilah pentingnya negosiasi dalam menentukan besaran uang pisah antara pekerja dengan pengusaha pada waktu membuat peraturan perusahaan ataupun perjanjian kerja bersama.

Cara yang bijaksana menentukan besaran uang pisah selain dari besaran uang penggantian hak adalah berdasarkan masa kerja. Boleh negosiasi berdasarkan masa kerja sesuai setengah dari nilai bulan pasal 154 ayat (3), atau berdasarkan cara yang lain, pokoknya sesuai kesepakatan antara pekerja dengan pengusahanya.

Lanjut ke Bag-4